Posted by
PriscillaPatty
comments (0)
Letter of Credit ( LC ) adalah Surat Berharga, yang merupakan alat bayar untuk sesuatu transaksi ekspor-impor, sehingga pengaturan hukum atas Letter of Credit tersebut diatur adalam perjanjian Internasional (bukan perjanjian Nasional / Indonesia ) yang dikuti oleh semua Negara-negara didunia, yaitu menggunakan UCP.500 ( United Custom Practice .500 ) .
Macam-macam Letter of Credit adalah :
1. Sight Letter of Credit
2. Usance Letter of Credit
3. Red Clause Letter of Credit
1. Sight Letter of Credit
2. Usance Letter of Credit
3. Red Clause Letter of Credit
1. SIGHT LETTER OF CREDIT adalah : Alat bayar yang berupa surat kredit yang diterbitkan oleh Bank
( Issuing Bank ) dari Pembeli di Luar Negeri ( Importir ), bahwa pembayaran akan dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam Surat Kredit tersebut, Dan LC tersebut dapat di diskontokan oleh Penjual di dalam negeri ( Eksportir ) lewat Bank didalam negeri ( Negotiating Bank ) dengan cara melakukan
Collection ( yaitu penagihan pembayaran oleh Negotiating Bank kepada Issuing Bank ),
2. USANCE LETTER OF CREDIT adalah : Alat bayar yang berupa surat kredit yang diterbitkan oleh Bank ( Issuing Bank ) dari Pembeli di Luar Negeri ( Importir ), bahwa pembayaran akan dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam Surat Kredit tersebut, Dan LC tersebut dapat di diskontokan oleh Penjual di dalam negeri ( Eksportir ) lewat Bank didalam negeri ( Negotiating Bank ), dengan mengikuti semua persyaratan yang tercantum dalam LC tersebut. Dalam Usance LC, pendiskontoan dapat dilakukan apabila semua proses pengiriman telah dilakukan oleh Eksportir dan dokumen-2 inilah yang menyertai LC tersebut untuk diserahkan ke Negotiating Bank, dalam rangka pendiskontoan LC tersebut, dengan demikian
segala Resiko pembayaran telah diambil alih oleh Negotiating Bank di dalam negeri.
3. RED CLAUSE LETTER OF CREDIT adalah : Alat bayar yang berupa surat kredit yang diterbitkan oleh Bank ( Issuing Bank ) dari Pembeli di Luar Negeri ( Importir ), yang berisi Perintah pembayaran terlebih dahulu maksimal sebesar 80% dari Issuing Bank di Luar Negeri kepada Negotiating Bank di dalam negeri, dimana Eksportir belum melakukan aktivitas ekspor sama sekali, ( LC ini merupakan pembayaran uang muka dari Importir ( down payment ) kepada Eksportir ), LC tersebut sangat likwid berlaku di perbankan, karena semua resiko telah ditanggung oleh Bank Penerbit di Luar Negeri dan pasti dibayar sesuai waktu yang telah ditentukan. Dalam Red Clause LC, pendiskontoan 80% dapat dilakukan oleh Eksportir tanpa harus melakukan aktivitas ekspor terlebih dahulu, karena perlakuan dalam LC tersebut adalah sangat Khusus, yaitu Eksportir & Importir telah berulang kali melakukan transaksi ekspor, Sehingga timbul kepercayaan yang tinggi dari Importir kepada Eksportir dan biasanya antara Bank kedua belah pihak telah melakukan korenpondensi terlebih dahulu. Sedangkan pelunasan 100% akan dilakukan oleh Negotiating Bank, apabila Eksportir telah selesai melakukan pengiriman ekspornya dengan menyerahkan dokumen-2 pengirimannya ke Negotiating Bank.
Untuk memperjelas permasalahan hukum yang terjadi dalam kasus pembobolan Bank BNI Cabang Kebayoran Baru dengan menggunakan LC Fiktif, maka kami mencoba membuat suatu illustrasi sederhana dengan contoh kasus dalam pemakaian transaksi yang menggunakan ALAT BAYAR KARTU KREDIT :
· Pemilik Kartu Kredit sebelum menerima Kartu Kredit akan menanda tangani kesepakatan antara dia dengan Issuing Bank, berupa perjanjian tertulis.
· Antara Holder/Toko dan bank Pemberi alat authorifikasi/verifikasi, juga membuat kesepakatan-2 atas penggunaan alat online tersebut, agar alat tersebut digunakan sebagai ketentuan2 yang ada.
· Pemilik Kartu Kredit sedang berbelanja disebuah toko, yang mana dia sedang membeli barang elektronik seharga Rp 2.500.000,- , tetapi kemudian teringat membutuhkan uang cash sebesar Rp. 500.000, karena tidak akan sempat ke ATM, untuk mengambil tunai dengan Kartu Kredit tersebut, maka dia meminta tolong kepada pemilik toko, agar kwintansi dalam barang tersebut dibuat Rp. 3.000.000,- dimana yang Rp.500.000 dia minta secara TUNAI atau CASH dan yang Rp. 2.500.000 berupa barang yang dia beli.
· Pasti pemilik toko akan memperbolehkan setelah melakukan verifikasi atau authorifikasi kepada Bank Penerbit Kartu Kredit, Dan Bank Penerbit akan memperbolehkan selama saldo yang ditetapkan kepada Pemilik Kartu Kredit masih mencukupi, sedangkan untuk melakukan verifikasi atau authorifikasi tidak perlu menggunakan telpun, tetapi cukup menggunakan suatu alat online yang telah disepakati dan disetujui sebagai alat verifikasi dan ini berlaku seluruh dunia, sebagai suatu kesepakatan Internasional.
· Pada saat jatuh tempo pembayaran kartu kredit, maka pemilik kartu kredit akan ditagih oleh Bank sebesar Rp. 3.000.000 atas transaksi pembelian barang, bukan terpisah dua transaksi yaitu atas Rp.2.500.000 pembelian barang dan Rp.500.000 uang cash. Selama tidak ada complain dari salah satu pihak, maka transaksi tersebut sah-sah saja dan harus dibayar pada saat jatuh tempo.
· Apakah pada kwintansi tersebut yang tertulis pembelian barang sebesar Rp.3.000.000 adalah dokumen fiktif, dimana semua pihak yang terlibat menyepakati dan menyetujui, yaitu pembeli, penjual, issuing bank & negotiating bank, bahwa harga barang tersebut adalah Rp. 3.000.000,- dan pembayarannyapun akan dilakukan yaitu sebesar Rp,.3.000.000,- ditambah premi, dll oleh pemilik kartu kredit kepada Issuing Bank.
Pada kasus LC fiktif bank BNI yang dituduhkan, modus operandi yang dilakukan hampir sama, dengan Kartu Kredit tersebut, yaitu sebagai berikut :
Antara Penjual ( Eksportir ) & Pembeli ( Importir ), Issuing Bank, Advising Bank & Negotiating Bank telah terjadi kesepakatan terlebih dahulu, sbb :
I. KESEPAKATAN MULTILATERAL / INTERNATIONAL :
a. Kesepakatan harga, volume, waktu pengiriman dan spesifikasi barang yang akan dibeli.
b. Macam LC yang diterbitkan, persyaratan pencairan didalam LC, tgl diterbitkan, tanggal kadaluarsa.
c. Bank yang akan menerbitkan LC adalah koresponden dari Bank Penjual didalam negeri atau harus ada Bank Penjamin didalam negeri ( Advising Bank ) apabila bukan koresponden bank, sehingga dengan adanya Advising Bank, maka Negotiating Bank dapat melakukan pendiskotoan LC tersebut sesuai konvensi yaitu UCP.500.
a. Kesepakatan harga, volume, waktu pengiriman dan spesifikasi barang yang akan dibeli.
b. Macam LC yang diterbitkan, persyaratan pencairan didalam LC, tgl diterbitkan, tanggal kadaluarsa.
c. Bank yang akan menerbitkan LC adalah koresponden dari Bank Penjual didalam negeri atau harus ada Bank Penjamin didalam negeri ( Advising Bank ) apabila bukan koresponden bank, sehingga dengan adanya Advising Bank, maka Negotiating Bank dapat melakukan pendiskotoan LC tersebut sesuai konvensi yaitu UCP.500.
d. Penerbitan dan kemudian pengiriman LC harus menggunakan alat verifikasi yang telah disetujui oleh dunia
internasional yaitu SWIFT dengan Message Type .700, sehingga LC tersebut dikatakan GENUINE ( benar, baik, betul, akurat dan dapat dipercaya ).
internasional yaitu SWIFT dengan Message Type .700, sehingga LC tersebut dikatakan GENUINE ( benar, baik, betul, akurat dan dapat dipercaya ).
II. KESEPAKATAN NASIONAL / DALAM NEGERI :
a. Eksportir atau penjual barang, telah conform dengan Banknya bahwa negotiating bank yang akan digunakan adalah sesuai dengan LC yang akan dikirim oleh Importir lewat Issuing Bank.
b. Eksportir dan Bank didalam negeri telah terjadi kesepakatan untuk melakukan pendiskontoan LC yang akan diterima, setiap bank mempunyai aturan yang berbeda dalam rangka pendiskontoan LC ekspor tersebut, tapi yang sama adalah, bahwa Bank mempuinyai HAK REGRES, yaitu hak yang dipunyai oleh Bank di dalam negeri, yaitu apabila Issuing Bank atau Importir tidak membayar kepada Negotiating Bank, karena pendiskontoan yang telah dilakukan, dengan alasan apapun, maka Negotiating Bank dapat meminta
pelunasan pembayaran kepada Nasabahnya atau eksportir yang dimaksud.
c. Pendiskontoan LC ekspor, sama halnya dengan perjanjian kredit pada umumnya, pada saat terjadi wanprestasi di Luar negeri ( Issuing Bank ), maka berlakulah hukum Nasional di Indonesia, yaitu perjanjian Kredit pada umumnya, dan masuk dalam lingkup HUKUM PERDATA.
d. Apakah penggunaan yang tidak sesuai tentang pemakaian hasil pendiskontoan atau hasil pencairan kredit adalah suatu tindakan PIDANA…..??????? dalam hal ini Tindakan Pidana Korupsi sesuai UU No.31/1999 jo UU.No.20/2001
e. Dalam perjanjian Kredit atau pendiskotoan LC tersebut, Bank pada umumnya telah melakukan prinsip kehati-hatian bank, yaitu meninjau usaha, menilai asset sebagai jaminan pembayaran, sehingga apabila terjadi wanprestasi, Bank tetap aman untuk menerima pengembalian dana yang telah dicairkan kepada nasabah, baik berupa kredit atau pendiskontoan LC.
f. Dokumen Pendukung disini adalah seolah-olah telah atau akan terjadi pengiriman barang dengan menggunakan Bill of Lading, & dokumen lainnya yang diminta dalam LC, dikarenakan antara Importir dan Eksportir dan juga antara Issuing Bank & Negoriating Bank, sudah terjadi kesepakatan, maka pembayaran tetap dilakukan pada saat jatuh tempo ( terbukti dari total 82 slip LC, hanya 37 Slip LC yang belum dibayar, itupun karena dikasus pidanakan oleh BNI ).
a. Eksportir atau penjual barang, telah conform dengan Banknya bahwa negotiating bank yang akan digunakan adalah sesuai dengan LC yang akan dikirim oleh Importir lewat Issuing Bank.
b. Eksportir dan Bank didalam negeri telah terjadi kesepakatan untuk melakukan pendiskontoan LC yang akan diterima, setiap bank mempunyai aturan yang berbeda dalam rangka pendiskontoan LC ekspor tersebut, tapi yang sama adalah, bahwa Bank mempuinyai HAK REGRES, yaitu hak yang dipunyai oleh Bank di dalam negeri, yaitu apabila Issuing Bank atau Importir tidak membayar kepada Negotiating Bank, karena pendiskontoan yang telah dilakukan, dengan alasan apapun, maka Negotiating Bank dapat meminta
pelunasan pembayaran kepada Nasabahnya atau eksportir yang dimaksud.
c. Pendiskontoan LC ekspor, sama halnya dengan perjanjian kredit pada umumnya, pada saat terjadi wanprestasi di Luar negeri ( Issuing Bank ), maka berlakulah hukum Nasional di Indonesia, yaitu perjanjian Kredit pada umumnya, dan masuk dalam lingkup HUKUM PERDATA.
d. Apakah penggunaan yang tidak sesuai tentang pemakaian hasil pendiskontoan atau hasil pencairan kredit adalah suatu tindakan PIDANA…..??????? dalam hal ini Tindakan Pidana Korupsi sesuai UU No.31/1999 jo UU.No.20/2001
e. Dalam perjanjian Kredit atau pendiskotoan LC tersebut, Bank pada umumnya telah melakukan prinsip kehati-hatian bank, yaitu meninjau usaha, menilai asset sebagai jaminan pembayaran, sehingga apabila terjadi wanprestasi, Bank tetap aman untuk menerima pengembalian dana yang telah dicairkan kepada nasabah, baik berupa kredit atau pendiskontoan LC.
f. Dokumen Pendukung disini adalah seolah-olah telah atau akan terjadi pengiriman barang dengan menggunakan Bill of Lading, & dokumen lainnya yang diminta dalam LC, dikarenakan antara Importir dan Eksportir dan juga antara Issuing Bank & Negoriating Bank, sudah terjadi kesepakatan, maka pembayaran tetap dilakukan pada saat jatuh tempo ( terbukti dari total 82 slip LC, hanya 37 Slip LC yang belum dibayar, itupun karena dikasus pidanakan oleh BNI ).
Kesimpulan :
PADA KARTU KREDIT TERDAPAT DOKUMEN PENDUKUNG YAITU KWINTANSI YANG SEOLAH-OLAH HARGA BARANG ADALAH Rp. 3.000.000,- SEDANGKAN PADA LC SEOLAH-OLAH TELAH ATAU AKAN ADA PENGIRIMAN DENGAN DOKUMEN YANG DISEPAKATI DIDALAM LC
Dikarenakan kesepakatan-2 diatas telah terjadi maka, terjadilah Pendiskontoan LC Ekspor oleh Bank BNI terhadap Gramarindo Group, didalam pelaksanaannya tidak pernah terjadi masalah, yaitu sejak bulan September 2002 sampai dengan Agustus 2003, Bank diluar negeri sebagai Issuing Bank, yang menerbitkan LC tersebut tetap membayar kepada Bank BNI atas pendiskontoan LC yang telah dilakukan terlebih dahulu dan karena pembayarannya dalam US. Dollar, maka pembayaran selalu melewati perjanjian Internasional, yaitu BANK SENTRAL di NEW YORK.
Tetapi setelah diketahui oleh Satuan Intern Pengawas Bank BNI, bahwa terjadi kesalahan prosedur untuk pendiskontoan LC tersebut, maka Bank BNI atas sepengetahuan direksi di kantor Pusat, menyetujui dibuat AKTE PENGAKUAN HUTANG atas total pendiskontoan LC yang terjadi dan masih ditambah dengan Borgtogh oleh Owner dan Konsultan Investasi Sagared Group. Yang sebenarnya bahwa APU tersebut adalah sama dengan Letter of Indemnity partial yang terlampir per slip LC yang menyangkut HAK REGRES, yang kemudian direkapitulasi menjadi total angka didalam APU dengan tambahan jaminan/collateral saja.
Sumber : wordpress.com
Sumber : wordpress.com